yang udah baca

Jumat, 14 Maret 2008

Hanya Sekedar Gila

Aku mengambil sebuah bungkusan kain yang sudah hampir enam bulan ini selalu menemani aku, bungkusan kain kumal yang di dalamnya berisi beraneka macam barang, entah barang apa saja yang aku simpan di dalamnya. Aku mengambil setiap barang yang membuat aku tertarik, ada sandal bekas, bungkus makanan, pisau berkarat dan beberapa barang lain yang mungkin menurut beberapa orang sudah tidak beguna lagi. Dengan membawa bungkusan itu aku naik ke dalam kereta api. Membiarkan kereta besar ini membawaku pergi. Aku ingin pergi, hanya ingin pergi.
Petugas berbaju biru mulai meniup peluitnya menandakan bahwa kereta api sudah siap untuk berangkat, kereta api pun mulai berjalan pelan. Sangat menyenangkan sepertinya bukan kereta api ini yang berjalan tapi sepertinya bangunan-bangunan di sekitarku yang berjalan. Berjalan menjauhi aku, menjauhi aku yang gila.
Aku membuka bungkusan kain ku, mencoba mencari sesuatu, yang bisa aku makan. Aku menenemukan sepotong roti yang entah sejak kapan berada di dalam bungkusan kain ku. Bau dari roti itu membuat orang-orang di sekitar ku menutup hidung, aku tidak peduli, aku tetap memakan roti itu untuk mengisi perutku. Kereta ini sebenarnya cukup penuh, tapi entah kenapa tidak ada orang yang mau duduk di sebelah ku. Kursi yang seharusnya untuk dua orang ini aku tempati sendiri. Aku tidak peduli, karena aku semakin leluasa. Aku menyandarkan kepalaku ke dinding gerbong kereta ini, mataku terasa berat, hembusan angin dari jendela membuat aku semakin ngantuk. Akhirnya aku pun tertidur lelap.
******
Alam mimpi membawa aku terbang kembali ke kenangan masa lalu. Pagi itu seperti pagi hari yang biasanya aku bangun dari tempat tidurku, memulai aktivitas sebagai seorang ibu rumah tangga biasa. Hanya satu hal yang tidak seperti biasanya, pagi itu suami ku belum pulang ke rumah. Entah dia menghabiskan malam di mana dan bersama siapa, sungguh aku pun juga tidak tahu.
Aku mulai memasak, menyiapkan makanan untuk putri tunggal ku. Terdengar suara mobil suamiku memasuki halaman rumah kami. Tak lama kemudian suamiku masuk ke dalam rumah dan tanpa rasa bersalah dia langsung menuju kamar, tanpa menyapa atau sedikit berbicara dengan aku. Aku meninggalkan putri ku yang sedang menyelesaikan sarapan, menyusul suami ku ke dalam kamar untuk meminta penjelasan tentang kelakuannya.
“ Kenapa baru pulang? Dari mana saja kamu tadi malam? “dengan penuh nada curiga aku bertanya
“ Terserah aku mau kemana, itu bukan urusan mu!!” suami ku menjawab dengan jawaban yang membuat emosiku semakin memuncak
“ Dasar suami bajingan!! Malam-malam bukannya pulang ke rumah, malah kelayapan dengan pelacur!!” aku berbicara marah, tangan kanan ku mendarat keras di wajah suamiku.
Emosi suami ku juga memuncak, dengan sekuat tenaga dia mendorong tubuh ku. Membuat aku terjatuh ke lantai.
“ Jangan sekali-sekali kamu menyebut wanita itu pelacur!!Dia itu wanita baik-baik!! Dan dia berhubungan dengan aku karena dia mencintai aku! Tidak seperti kamu yang….” Kata-kata suamiku terhenti, dia memilih pergi, berjalan keluar kamar meninggalkan aku.
Seketika aku merasa gelap. Sepertinya emosi ku mulai menguasai diri ini. Aku tidak sempat lagi untuk berpikir jernih. Aku mengambil tongkat golf yang tesembunyi di dalam lemari pakaian. Mengejar suamiku yang berjalan tidak terlalu cepat, tanpa sempat menghindar, suamiku terjatuh terkena pukulan tongkat golf yang aku ayunkan. Tapi dia masih mencoba berdiri, dan dengan emosi yang masih menguasai aku kembali mengayunkan tongkat golf tersebut.
“ Mama jangaaaaan !!!” putri ku berteriak, tubuhnya tepat berdiri di depan suamiku. Aku tak sanggup utnuk menghentikan tongkat golf yang terlanjur aku ayunkan.
Kepala putri ku berdarah, tubuhnya tak berdaya, tak bergerak sedikitpun, nafasnya juga terhenti, putriku telah mati. Sementara suami ku yang sebelumnya juga terkena pukulan, juga melemah. Sinar matanya mulai redup, meninggalkan aku dan seluruh kehidupannya.
Aku hanya terpaku melihat mayat putri dan suamiku yang mulai membujur kaku. Aku tidak percaya dengan apa yang telah aku lakukan. Benarkah ini kenyataan??. Aku berharap ini hanyalah sebuah mimpi buruk yang aku lalui di malam hari dan menghilang ketika pagi datang. Dan itu yang membuat aku menjadi gila, aku tidak bisa membedakan antara mimpi dan kenyataan.
******
Seorang petugas berbaju biru membangunkan aku, meminta tiket yang seharusnya dimiliki oleh semua penumpang kereta api ini. Aku menggelengkan kepala, tersenyum dan kemudian tertawa. Aku membuka bungkusan kain kumal yang berisi berbagai macam barang. Memamerkan barang-barang tak berguna yang aku punya, petugas itu hanya tersenyum dan kemudian pergi. Meskipun suamiku meninggalkan warisan yang cukup banyak, tapi saat ini aku tidak membawa uang sepeser pun, dan aku memang tidak butuh uang, aku sudah bisa hidup hanya dengan bermimpi dan berkhayal. Aku bisa hidup karena aku hidup dalam dunia yang ciptakan sendiri, dunia dimana tidak ada batas antara mimpi dan kenyataan.
Aku mengambil benda yang aku anggap cermin dari dalam bungkusan kain ku, mengambil sebuah sisir yang tak lagi bergerigi. Dan seperti wanita normal yang sedang berdandan, aku memegang “cermin ‘ itu di tangan kiri dan sisir di tangan kanan. Aku mulai bercermin dan menyisir rambutku, orang-orang di sekitar ku tertawa melihat aku berdandan. Mungkin mereka tertawa melihat gayaku yang lucu atau mungkin mereka tertawa melihat “cermin” yang aku gunakan, sebuah bekas bungkus makanan yang bagian dalamnya mengkilap sudah cukup untuk menjadi cermin ku.
Aku memandang sinis kepada orang-orang yang mentertawakan aku. Aku berkata dalam hati, mungkin jika mereka mengalami hal seperti yang aku alami, mungkin mereka tidak akan sekuat aku. Menghadapi hal seberat itu aku hanya menjadi gila, padahal aku yakin beberapa orang akan memilih bunuh diri jika menghadapi masalah seperti yang aku alami.
Sepanjang perjalanan kereta ini mereka tak pernah berhenti mentertawakan aku, menjadikan bahan obrolan yang membuat mereka tertawa. Aku hanya sekedar gila, tapi bukan berarti aku tak bisa marah. Aku ingin sekali marah, tapi sudahlah. Lebih baik aku kembali lagi ke dalam duniaku sendiri, dunia yang akan selalu sesuai dengan imajinasi ku.
Seketika aku menangis ketika mengingat kembali lagi masa- masa kelamku. Tak lama kemudian aku tertawa keras, entah apa yang membuat aku tertawa. Aku hanya ingin tertawa, toh tertawa kan tidak harus ada alasan, apalagi untuk orang gila seperti aku. Aku berdiri dari kursiku, aku berteriak, kemudian menangis dan kemudian tertawa lagi, terus berulang seperti itu. Orang – orang di sekitar aku yang semula tertawa kini mulai takut dan khawatir. Seorang petugas keamanan kereta mendatangi aku mencoba membuat aku tenang, tapi aku tetap tak terkendali, terus berteriak, menangis dan tertawa. Petugas keamanan itu menawari aku segelas es jeruk yang kelihatanya begitu nikmat dan segar, dan entah karena aku memang haus atau mungkin karena es jeruk itu begitu menggiurkan. Akhirnya aku duduk kembali, menimati es jeruk yang ternyata memang benar-benar nikmat.
Aku merasakan laju kereta semakin pelan, sepertinya kereta ini akan berhenti. Di stasiun Banyuwangi Baru kereta ini berhenti, pemberhentian terakhir dari kereta jurusan Surabaya – Banyuwangi. Bersama penumpang yang lain aku pun turun. Kali ini tidak ada yang memperhatikan aku, semua penumpang sibuk sendiri. Aku melangkah keluar dari stasiun, setelah agak jauh dari stasiun, sebuah mobil berhenti tepat di depan ku.
Pintu mobil terbuka, dan aku pun masuk ke dalamnya. Aku berganti baju dengan baju yang lebih pantas, bungkusan kain kumal itu sudah aku buang sebelumnya. Aku mengambil cermin dan peralatan make up yang sebenarnya, dan dalam sekejap penampilanku sudah seperti wanita nomral yang lain. Di dalam mobil juga ada seorang lelaki paruh baya, lelaki yang sudah lama menjadi selingkuhanku, jauh sebelum suamiku berselingkuh dengan wanita itu.
“ Kamu tidak lupa membawa semuanya kan?” aku bertanya kepada mas Rino
“ Tenang aja, semuanya ada di dalam tas koper itu, termasuk juga surat warisan dan surat-surat bukti kepemilikan harta suamimu” mas Rino menjawab, tangan kirinya menunjuk sebuah koper yang terletak di jok belakang.
Dengan mengendarai mobil kami pergi ke Denpasar, dan kemudian dari Denpasar kami langsung terbang ke Australia, untuk menikmati masa bahagia, setelah hampir 6 bulan aku harus menjadi “gila”, hanya sekedar gila.
R.S Dewantoro



NB : Terinspirasi dari seorang wanita yang aku temui di kereta api Mutiara Timur, dalam perjalanan dari Surabaya ke Probolinggo.
selanjutnya....

Lelaki Yang Pernah Mati

Sudah hampir semingu sejak aku dinyatakan bangkit dari kematian, seminggu yang lalu secara medis aku sudah dinyatakan mati, jantungku berhenti berdetak, paru-paru ku tak lagi menghembuskan udara dan otak ku juga tak bereaksi. Kematian ku begitu mendadak, aku tak pernah punya penyakit serius dan aku juga tak mengalami kecelakaan ataupun kejadian yang membunuhku, aku mati begitu saja. Tiba-tiba saja aku merasa di tempat yang asing, tempat yang gelap, dingin dan sepi. Tak ada cahaya yang menuntun jalanku, tak ada suara yang membimbing aku dan tak ada seorangpun yang menemani aku. Aku merasa ringan, melayang tanpa tujuan. Tapi yang aneh setelah dua hari kemudian aku hidup begitu saja, dokter terpintar pun tak bisa menjelaskan kenapa.
Kematian membuat aku lebih menghargai hiduip. Membuat aku mengerti betapa indahnya hidup yang aku jalani. Membuat aku mengerti betapa berartinya mereka yang aku cintai dan mereka yang mencintai aku. Aku sudah pernah mati dan aku yakin suatu saat aku akan mati lagi, tapi sebelum itu terjadi (lagi), aku harus melakukan sesuatu yang berarti. Sesuatu yang membuat orang mengerti tentang arti hadirku.
” Hai sayang udah lama nunggu ya? ” Arni menyapaku, dia adalah wanita yang sangat aku cintai dan aku yakin dia mencintai aku seperti aku mencintainya. Aku membalas sapanya dengan senyum dan kecupan kecil di dahinya. Setelah kematian itu aku menjadi lebih dekat dengan dengan Arni, sepertinya apa yang aku lakukan hanya untuk dirinya. Bahkan bukan kali ini aku melewatkan kuliahku hanya untuk menjemput dia dari kampusnya. Mungkin aku takut jika harus berpisah dengan dia lagi.
Arni benar-benar bidadari dalam hidupku, dia bukan wanita yang tanpa cela, hanya saja dia sempurna. Aku sanggup melakukan apa saja hanya untuk mebuatnya tersenyum, senyum yang menerangi sisi gelap dunia, senyum yang memberi aku semangat dan kekuatan, membuat hidup menjadi mudah. Demi Tuhan Sang Pencipta cinta, aku tak akan pernah mengkhianati cinta yang dia berikan. Mungkin aku harus berterima kasih kepada dewa maut yang telah menunjukkan berartinya cinta Arni.
*****
Mata ku sayu menatap ombak yang tak pernah berhenti. Suara air yang mencoba meraih pantai mendesir, mengiringi hembusan nafas yang penuh cinta. Tangan ku menggenggam erat tangan mungil Arni, sesekali aku mencium punggung tangannya yang tampak mulai kedinginan. ” Aku mencintai mu” aku berbisik mesra, Arni hanya tersenyum. Mengusap rambut ku, dan mengambil beberapa butir pasir yang menempel. Menyandarkan kepalanya di dalam pelukan ku.
Aku menatap matanya, memberikan ciuman di bibir merahnya dan entah bagaimana cinta mulai mnghangatkan gairah. Membiarkan tubuh kami yang tanpa busana beradu mesra. Tubuh kami bersatu dalam cinta, nafas kami mendesah berirama, seperti menyanyikan lagu tentang kenikmatan.
*****
Aku merasa bersalah kepada Arni, karena aku telah menodai cintanya dengan nafsu dan gairah yang penuh dosa. Tapi kejadian malam itu membuat aku jauh lebih mencintai dia.
Aku berdiri di halaman kampusnya, seharusnya Arni sudah keluar dari kampusnya sejak satu jam yang lalu. Mungkin dia sedang ada kuliah tambahan atau mungkin dia sedang ada bimbingan, apalagi dia saat ini sedang mengerjakan tugas akhir. Dua jam berlalu tapi Arni belum juga keluar dari kampusnya. Aku mencoba menghubungi ponselnya tapi sia-sia, ponselnya dimatikan. Tanpa banyak kata aku langsung pergi ke rumahnya, berharap bisa menemuinya. Tapi percuma tidak ada seorang pun di rumahnya yang mau berbicara dengan aku, tidak ada yang mau menemui aku. Mereka seperti menganggap aku tidak ada.
Apakah kejadian malam itu yang membuat Arni dan keluarganya menjadi seperti ini. Mungkin mereka marah karena aku telah menodai putri yang mereka banggakan. Mungkin mereka sangat marah...
*****
Seminggu telah berlalu tapi aku masih belum bisa menemui Arni, ponselnya tak pernah aktif. Dia juga tak pernah kuliah dan keluarganya pun menutup mulut dan hati mereka dengan rapat. Mereka enggan berbicara dengan aku. Sementara aku semakin merasakan rindu yang semakin menggebu. Tanpa tatapan matanya hidup ku terasa hampa, tanpa senyumannya aku merasa lemah.
Dengan tanpa harapan aku pergi lagi ke rumahnya, berharap kali ini aku mendapat perlakuan yang lebih baik, tapi sia-sia, semuanya masih sama. Aku memutuskan untuk menunggu di depan rumahnya, dengan harapan dia mau keluar untuk menemui aku.
Lebih dari dua jam berlalu,tapi Arni belum juga keluar untuk menemui aku. Aku melihat pintu garasi rumahnya terbuka, sebuah sedan keluar dari pagar rumahnya. Aku melihat Arni dan ayahnya di dalam mobil itu. Aku segera mengikuti kemana mobil itu pergi mobil Arni berhenti di depan sebuah gedung berlantai dua dari bentuk bangunannya sepertinya itu rumah sakit, bukan rumah sakit biasa, tapi rumah sakit jiwa. Aku kembali bertanya tentang apa yang terjadi pada Arni.
Arni dan ayahnya masuk ke sebuah ruangan yang sepertinya ruang praktek seorang dokter ahli penyakit jiwa, tak lama kemudian ayahnya keluar dari ruangan itu , meninggalkan Arni di dalam. Aku memalingkan muka beruasaha agar tak terlihat oleh ayahnya.
Pintu ruangan itu terbuka, berharap Arni yang keluar dari ruangan itu, ternyata benar Arni keluar dari ruangan itu. Dia melihat ke arah ku, menatap diriku sejenak, dan kemudian pergi begitu saja seolah tak pernah melihat aku. Aku segera berlari mengikutinya.
” ARNI !!!” aku memanggilnya dengan keras, memastikan dia bisa mendengar suaraku. Arni menoleh ke belakang, menghentikan langkahnya.
” Arni, aku hanya ingin bicara. Beri kesempatan aku bicara.”
” Ikuti aku, aku tidak bisa berbicara denganmu di sisi ” Arni menjawab dengan suara lirih.
Arni mengajakku ke sebuah tempat yang sepi, sangat sepi. Sepertinya aku pernah ke tempat ini, tapi aku tidak tahu tempat ini, seperti sebuah pemakaman.
” Kenapa kamu menjauhi aku? Apa karena kejadian malam itu ?”
” Bukan, bukan karena malam itu. Malam itu tak terjadi apa-apa”
“ Apa maksudmu? Bukankah malam itu kita berdua benar-benar menikmatinya, menikmati cinta dan gairah yang berpadu menjadi satu. Aku mengerti jika karena kejadian itu kamu menghindar untuk bertemu aku. Mungkin kamu kecewa karena aku tak bisa memisahkan antara cinta dan nafsu. ” aku berbicara panjang, menunjukkan aku yang tak mengerti dengan apa yang ada di dalam pikiran Arni.
” Bukan . Aku menjauhi mu karena kamu tidak nyata, kejadian malam itu tidak nyata. Semua hanya ilusi, kamu sudah mati. ” Arni menjawab dengan kata-kata yang membuat aku lebih tidak mengerti.
” Aku memang sudah pernah mati, tapi aku hidup lagi. Aku hidup lagi untuk kembali mencintai mu. Dan sekarang aku di sini, masih mencintai mu.”
” Kamu sudah mati, dan sekarang kamu masih mati. Saat ini kamu hidup hanya sebagai ilusi, sebagai bayangan yang tercipta dari hati dan pikiran ku. Hatiku yang terluka dan pikiran yang hampa karena kesedihan yang begitu hebat. Aku merasa sangat kehilangan, kematian mu yang mendadak membuat jiwaku guncang.” Arni berkata dengan mata yang mulai basah, tangannya menunjuk ke sebuah makam, makam yang bertuliskan nama ku.
” Tapi jika aku hanya ilusi, bagaimana aku bisa menjadi begitu nyata. Aku bisa menyentuh mu, berbicara dengan mu, membelai tubuh mu dan merasakan nikmatnya nafsu. ”
” Itulah rahasia alam pikiran manusia, sama seperti mimpi. Di dalam mimpi kita bisa merasakan sakit dan ketakutan, bahagia dan gembira, sama seperti yang kita rasakan di alam nyata. Karena sebenarnya mimipi dan kenyataan itu sama, sama-sama terjadi karena impuls listrik di sistem syaraf kita (*).” Arni mencoba menjelaskan kepada aku.
” Pernahkah kamu bertanya, kenapa setelah bangkit dari kematian kamu hanya memberikan waktu mu untuk menemani aku. Kenapa kamu tidak punya kehidupan lain, selain menjadi seorang yang mencintai ku. Semua itu karena aku yang menciptakan mu, aku membuatmu hanya untuk menemani aku, hanya untuk mencintai aku. ”
Aku terdiam, apa yang dikatakan Arni memang benar, aku tak punya kehidupan, selain sebagai seorang kekasihnya.
” Jika memang seperti itu, biarkan aku seperti ini. Menjadi bayangan dan ilusi yang terus menemani dan selalu mencintai. ”
” Tidak aku harus kembali ke kehidupan nyata. Aku harus melupakan mu dan karena aku yang menciptakan mu, aku juga yang akan memusnahkan mu. Dokter ahli jiwa itu telah mengajari aku bagaimana cara untuk mnejauhkan diri mu dan sekarang aku sudah tahu bagaimana cara untuk memusnahkan mu. ”

Aku tak mampu berkata, tak sanggup untuk melawan. Aku hanya bagian dari kesedihan, hanya air mata yang tak terhapuskan atau hanya sebuah luka yang menganga. Semuanya kembali gelap, dingin dan sepi, tubuh ku mulai terasa ringan, kembali melayang tanpa tujuan.

R.S. Dewantoro
selanjutnya....

Aku dan Kamar Mandi

Aku masih terdiam di sini, di sudut sebuah kamar mandi. Meratapi nasib yang tak lagi jelas. Mencoba menangis dan mengadu ke dinding-dinding di sekitarku. Aku menatap ke sekeliling, melihat dinding kamar mandi ini yang tak lagi indah. Cat dindingnya mulai mengelupas, lantainya kotor dan licin, ditambah lagi dengan bau tidak sedap yang mengaharumkan seluruh ruangan. Kamar ini telah menjadi bagian dalam hidupku, di tempat ini aku biasa mengadu . Mencurahkan seluruh isi hatiku, seluruh amarahku dan seluruh kekesalan ku terhadap dunia dan isinya. Dinding-dinding hanya diam, menyaksikan aku yang larut dalam kesedihan. Dinding tetap diam, tidak seperti biasanya dinding-dinding ini masih terdiam, padahal biasanya dinding-dinding ini mau berbicara dengan aku, bicara tentang apa yang dialaminya sepanjang hari.
“ Hai kamu yang sedang sedih,apa kabarmu?” dinding ini mulai bicara mencoba menyapa aku.
“ Seperti biasa, aku masih merasa tersisih, merasa tak berguna dan merasa tak berdaya” jawabku dengan nada suara yang tak karuan.
“ Seharusnya kamu masih bersyukur karena telah diciptakan sebagai mahkluk yang hidup, tidak seperti aku yang tercipta sebagai benda mati yang hanya menjadi tempat manusia untuk membuang kotoran” dinding mencoba memberiku nasihat.
“ Seandainya aku masih bisa memilih, aku akan memilih untuk diciptakan sebagai benda mati, paling tidak aku nggak akan mempunyai perasaan yang justru membuatku sengsara”
“ Ah kamu…” dinding itu hanya menghela nafas , seolah tak mengerti dengan apa yang aku rasakan.
Kami berdua terus berbicara, saling bercerita tentang apa yang kami alami. Dinding kamar mandi berkeluh kesah kepadaku tentang manusia-manusia yang kurang bertanggung jawab, mereka kadang seenaknya membuang kotoran dan meninggalkan kamar mandi begitu saja tanpa terlebih dahulu membersihkanya. Dia juga bercerita tentang beberapa manusia yang menggunakan dia sebagai tempat untuk melepas nafsu bejat mereka. Aku tidak banyak berkomentar terhadap cerita darinya, sepenuhnya aku mengerti bagaimana rasanya menjadi sesuatu yang dilupakan, sesuatu yang tak berdaya dan tak berguna.
Kamar mandi ini memang tak seluas dunia, tapi bagiku kamar mandi ini jauh lebih bersahabat daripada dunia ini dan isinya. Bagiku kamar mandi ini adalah tempat teraman dan ternyaman yang ada di dunia.
Kami masih terus berbicara, kali ini aku yang bercerita. Aku bercerita bagaimana cara dunia dan isinya memperlakukan aku. Mereka sangat tak bersahabat dengan aku. Mereka mengacuhkan aku, bahkan mereka menganggap aku seperti sampah. Manusia-manusia itu seolah-olah tak pernah merasakan kehadiran ku. Dunia ini seperti tak pernah peduli dengan kehadiranku. Aku muak dengan sikap mereka, aku membenci mereka dan aku marah terhadap dunia dan isinya.
Kadang aku bertanya kepada diriku sendiri, apakah Tuhan hanya mampu menciptakan aku dan tidak mampu untuk mengurus aku. Tapi bukankah Tuhan adalah Dzat yang serba Maha, Dzat yang Maha Kuasa dan juga Maha Bisa, dan seharusnya dengan segala kuasa yang dimiliki-Nya, Dia bisa memberikan sedikit rasa peduli kepada dunia dan isinya. Tapi kenyataan berbicara lain, dunia dan isinya tetap tak pernah peduli terhadap aku.
Aku masih di dalam kamar mandi dan masih terus berbicara.
“Apakah kamu tahu dengan sesuatu yng namanya cinta? ” Tanya kamar mandi kepadaku.
“ Cinta adalah sesuatu hal yang sangat rumit untuk dijelaskan. Dan sebagai yang tersisih aku tidak begitu tahu mengenai cinta.”
“ Aku rasa cinta itu sesuatu yang aneh, aku biasa mendengar kata cinta ketika ada manusia yang sedang melampiaskan nafsunya” kata kamar mandi
“ Aku rasa cinta bukan hanya sekedar kata meski mungkin cinta tak pernah nyata” aku balik menimpali.
Cinta buatku memang suatu hal yang tidak nyata, bukan hanya karena aku tidak pernah merasakannya tapi juga berdasar kenyataan, jika cinta itu benar nyata kenapa umat manusia masih sering berselisih antar sesama. Padahal seharusnya cinta dapat membawa damai di jiwa.
Aku berjalan keluar dari kamar mandi. Aku melihat seorang wanita berjalan ke arah ku. Dan seperti biasa, wanita itu tak menghiraukan aku, dia terus berjalan tanpa melihat aku. Bahkan ketika aku tepat di hadapannya dia masih tidak melihat aku. Dia tetap melangkahkan kakinya dan naas bagiku, kakinya tepat menginjak tubuhku. Tubuh ku remuk.
Aku memang hanya seekor KECOA, tapi apakah aku memang pantas untuk diinjak begitu saja. Apakah aku tidak berhak untuk berharap akan kehidupan yang lebih baik. Apakah aku memang tidak pantas untuk berharap. Memang tidak akan ada satupun keluarga ku yang menangisi kematian ku, tapi itu bukan karena mereka tidak punya hati untuk bersedih, itu semua hanya karena mereka tidak dikaruniai kelenjar air mata. Mungkin Tuhan menganugerahkan kelenjar air mata pada mahkluk yang salah, manusia yang memiliki kelenjar air mata yang sempurna, sering menyalahgunakannya untuk melakukan dusta dan kebohongan, atau mungkin manusia hanyalah mahkluk yang tidak pernah tahu cara untuk berterimakasih. Tubuh remuk ku menggeliat, ganglion-ganglion ku seolah tak berfungsi, cairan tubuh ku yang berwarna kuning dan kental mengalir keluar, sepertinya aku akan mati. Akhirnya aku mati, masih sebagai yang tersisih.

R.S. Dewantoro selanjutnya....